Rabu, 23 September 2009

UU RI No. 13 Tahun 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 13 TAHUN 2008

TENTANG

PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan warga negaranya untuk beribadah menurut agamanya masing-masing;

b. bahwa ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu menunaikannya;

c. bahwa upaya penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji perlu terus dilakukan agar pelaksanaan ibadah haji berjalanaman, tertib,dan lancar dengan menjunjung tinggi semangat keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik;

d. bahwaUndang-UndangNomor17Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan tuntutan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalamhuruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;

Mengingat :

Pasal 20, Pasal 20Aayat (1), Pasal 21, dan Pasal 29Undang-UndangDasarNegaraRepublik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI.

BAB I

KETENTUANUMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.

2. Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan Ibadah Haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan JemaahHaji.

3. Jemaah Haji adalah Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah Haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

4. Warga Negara adalahWarga Negara Indonesia.

5. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.

6. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945.

7. Komisi Pengawas Haji Indonesia, yang selanjutnya disebutKPHI, adalah lembagamandiri yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap Penyelenggaraan IbadahHaji.

8. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar olehWarga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji.

9. Pembinaan Ibadah Haji adalah serangkaian kegiatan yang meliputi penyuluhan dan pembimbingan bagi JemaahHaji.

10. PelayananKesehatanadalah pemeriksaan, perawatan, dan pemeliharaan kesehatan JemaahHaji.

11. Paspor Haji adalah dokumen perjalanan resmi yang diberikan kepada Jemaah Haji untuk menunaikan IbadahHaji.

12. Akomodasi adalah perumahan atau pemondokan yang disediakan bagi JemaahHaji selama di embarkasi atau di debarkasi dan diArab Saudi.

13. Transportasi adalah pengangkutan yang disediakan bagi Jemaah Haji selama Penyelenggaraan Ibadah Haji.

14. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus.

15. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus adalah pihak yang menyelenggarakan ibadah haji yang pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus.

16. Ibadah Umrah adalah umrah yang dilaksanakan di luar musim haji.

17. Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut DAU, adalah sejumlah dana yang diperoleh dari hasil Pengembangan Dana Abadi Umat dan/atau sisa biaya operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji serta sumber lain yang halal dan tidak mengikat.

18. Badan Pengelola Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut BP DAU, adalah badan untuk menghimpun, mengelola, dan mengembangkan Dana Abadi Umat.

19. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang agama.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penyelenggaraan Ibadah Haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba.

Pasal 3

Penyelenggaraan Ibadah Haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi Jemaah Haji sehingga Jemaah Haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam.

BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu

Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pasal 4

(1). Setiap Warga Negara yang beragama Islam berhak untuk menunaikan Ibadah Haji dengan syarat:

a. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah; dan

b. mampumembayarBPIH.

(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 5

Setiap Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji berkewajiban sebagai berikut:

a. mendaftarkan diri kepada Panitia Penyelenggara Ibadah Haji kantor DepartemenAgama kabupaten/kota setempat;

b. membayar BPIH yang disetorkan melalui bank penerima setoran; dan

c. memenuhi danmematuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku dalamPenyelenggaraan IbadahHaji.

Bagian Kedua

Kewajiban Pemerintah

Pasal 6

Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan Ibadah Haji, Akomodasi, Transportasi, Pelayanan Kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji.

Bagian Ketiga

Hak Jemaah Haji

Pasal 7

Jemaah Haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam menjalankan Ibadah Haji, yang meliputi:

a. pembimbinganmanasikhajidan/ataumateri lainnya, baikdi tanahair,diperjalanan,maupundiArabSaudi;

b. pelayananAkomodasi, konsumsi,Transportasi, dan Pelayanan Kesehatan yang memadai, baik di tanah air, selama di perjalanan,maupun diArabSaudi;

c. perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia;

d. penggunaanPasporHajidan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah Haji; dan

e. pemberian kenyamanan Transportasi dan pemondokan selama di tanah air, diArab Saudi, dan saat kepulangan ke tanah air.

BAB IV

PENGORGANISASIAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 8

(1). Penyelenggaraan Ibadah Haji meliputi unsur kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan.

(2). Kebijakan danpelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah.

(3). Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mengkordinasikannya dan/atau bekerja sama dengan masyarakat, departemen/ instansi terkait, dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

(4). Pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.

(5). Dalam rangka pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pemerintah membentuk satuan kerja di bawah Menteri.

(6). Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tugas dan tanggung jawab KPHI.

(7). Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan PeraturanPemerintah.

Pasal 9

Penyelenggaraan IbadahHaji dikoordinasi oleh:

a. Menteri di tingkat pusat;

b. gubernur di tingkat provinsi;

c. bupati/wali kota di tingkat kabupaten/kota; dan

d. Kepala Perwakilan Republik Indonesia untukKerajaanArab Saudi.

Pasal 10

(1). Pemerintah sebagai penyelenggara Ibadah Haji berkewajiban mengelola dan melaksanakan Penyelenggaraan IbadahHaji.

(2). Pelaksana Penyelenggaraan Ibadah Haji berkewajibanmenyiapkan danmenyediakan segala hal yang terkait dengan pelaksanaan Ibadah Haji sebagai berikut:

a. penetapanBPIH;

b. pembinaan IbadahHaji;

c. penyediaan Akomodasi yang layak;

d. penyediaan Transportasi;

e. penyediaan konsumsi;

f. Pelayanan Kesehatan; dan/atau

g. pelayanan administrasi dan dokumen.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Penyelenggara IbadahHaji diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Panitia Penyelenggara Ibadah Haji

Pasal 11

(1). Menteri membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji di tingkat pusat, di daerah yang memiliki embarkasi, dan diArab Saudi.

(2). Dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji, Menteri menunjuk petugas yang menyertai Jemaah Haji, yang terdiri atas:

a. Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI);

b. Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI);dan

c. Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI).

(3). Gubernur atau bupati/wali kota dapat mengangkat petugas yang menyertai Jemaah Haji, yang terdiri atas:

a. TimPemanduHajiDaerah(TPHD); dan

b. TimKesehatanHajiDaerah (TKHD).

(4). Biaya operasional Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dan petugas operasional pusat dan daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan mekanisme pengangkatan petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan PeraturanMenteri.

Bagian Ketiga

Komisi Pengawas Haji Indonesia

Pasal 12

(1). KPHI dibentuk untuk melakukan pengawasan dalam rangka meningkatkan pelayanan Penyelenggaraan IbadahHaji Indonesia.

(2). KPHI bertanggung jawab kepada Presiden.

(3). KPHI bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia.

(4). KPHI memiliki fungsi:

a. memantau dan menganalisis kebijakan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia;

b. menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dan masyarakat;

c. menerima masukan dan saran masyarakat mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji; dan

d. merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.

(5). Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPHI dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6). KPHI melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden dan DPR paling sedikit 1 (satu) kali dalam1 (satu) tahun.

Pasal 13

KPHI dalam melaksanakan tugasnya bersifat mandiri.

Pasal 14

(1). KPHI terdiri atas 9 (sembilan) orang anggota.

(2). Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur masyarakat 6 (enam) orang dan unsur Pemerintah 3 (tiga) orang.

(3). Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam.

(4). Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditunjuk dari departemen/instansi yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji.

(5). KPHI dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.

(6). Ketua dan Wakil Ketua KPHI dipilih dari dan oleh anggota Komisi.

Pasal 15

Masa kerja anggota KPHI dijabat selama 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Pasal 16

Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan DPR.

Pasal 17

Untuk dapat diangkat menjadi anggota KPHI, calon anggota harus memenuhi persyaratan:

a. Warga Negara Indonesia;

b. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enampuluh lima) tahun;

c. mempunyai komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji;

d. mempunyai pengetahuan danpengalaman yang luas dan mendalam tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;

e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan;

f. mampu secara rohani dan jasmani; dan

g. bersedia bekerja sepenuh waktu.

Pasal 18

Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas KPHI dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 19

(1). Dalam melaksanakan tugasnya KPHI dibantu oleh sekretariat.

(2). Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas pertimbangan KPHI.

(3). Sekretaris dalam melaksanakan tugasnya secara fungsional bertanggung jawab kepada pimpinan KPHI.

Pasal 20

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota KPHI sebagaimana dimaksud dalamPasal 16 diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB V

BIAYAPENYELENGGARAANIBADAHHAJI

Pasal 21

(1). Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelahmendapat persetujuan DPR.

(2). BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk keperluan biaya Penyelenggara-an Ibadah Haji.

(3). Ketentuan lebih lanjutmengenai pengelolaanBPIH diatur dengan PeraturanMenteri.

Pasal 22

(1). BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional yang ditunjuk oleh Menteri.

(2). Penerimaan setoran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan ketentuan kuota yang telah ditetapkan.

Pasal 23

(1). BPIH yang disetor ke rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dikelola oleh Menteri dengan mempertimbangkan nilai manfaat.

(2). Nilai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan langsung untuk membiayai belanja operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Pasal 24

(1). Jemaah Haji menerima pengembalian BPIH dalam hal:

a. meninggal dunia sebelum berangkatmenunaikan IbadahHaji; atau

b. batal keberangkatannya karena alasan kesehatan atau alasan lain yang sah.

(2). Ketentuan lebih lanjutmengenai pengembalian dan jumlah BPIH yang dikembalikan diatur dengan PeraturanMenteri.

Pasal 25

(1). Laporan keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji disampaikan kepada Presiden dan DPR paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Penyelenggaraan Ibadah Haji selesai.

(2). Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila terdapat sisa dimasukkan dalam DAU.

BAB VI

PENDAFTARAN DAN KUOTA

Pasal 26

(1). Pendaftaran Jemaah Haji dilakukan di Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dengan mengikuti prosedur dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan persyaratan pendaftaran diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai Warga Negara di luar negeri yang akan menunaikan IbadahHaji diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28

(1). Menteri menetapkan kuota nasional, kuota haji khusus, dan kuota provinsi dengan memperhatikan prinsip adil dan proporsional.

(2). Gubernur dapat menetapkan kuota provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam kuota kabupaten/kota.

(3). Dalam hal kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi pada hari penutupan pendaftaran, Menteri dapat memperpanjang masa pendaftaran dengan menggunakan kuota bebas secara nasional.

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kuota diatur dengan PeraturanMenteri.

BAB VII

PEMBINAAN

Pasal 29

(1). Dalam rangka Pembinaan Ibadah Haji, Menteri menetapkan:

a. mekanisme dan prosedur Pembinaan Ibadah Haji;dan

b. pedoman pembinaan, tuntunan manasik, dan panduan perjalanan Ibadah Haji.

(2). Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa memungut biaya tambahan dari JemaahHaji di luar BPIH yang telah ditetapkan.

Pasal 30

(1). Dalam rangka Pembinaan Ibadah Haji, masyarakat dapat memberikan bimbingan Ibadah Haji, baik dilakukan secara perseorangan maupun dengan membentukkelompok bimbingan.

(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai bimbingan Ibadah Haji oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VIII

KESEHATAN

Pasal 31

(1). Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Ibadah Haji, baik pada saat persiapan maupun pelaksanaan. Penyelenggaraan Ibadah Haji, dilakukan oleh menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.

(2). Pelaksanaan tugas sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dikoordinasi olehMenteri.

BABIX

KEIMIGRASIAN

Pasal 32

(1). Setiap Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji menggunakan Paspor Haji yang dikeluarkan oleh Menteri.

(2). Menteri dapat menunjuk pejabat untuk dan/atau atas namanya menandatangani Paspor Haji.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BABX

TRANSPORTASI

BagianKesatu

PelaksanaanTransportasi

Pasal 33

(1). Pelayanan Transportasi JemaahHaji keArab Saudi dan pemulangannya ke tempat embarkasi asal di Indonesia menjadi tanggung jawab Menteri dan berkoordinasi dengan menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perhubungan.

(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34

Penunjukan pelaksana Transportasi Jemaah Haji dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan efisiensi.

Pasal 35

(1). Transportasi Jemaah Haji dari daerah asal ke embarkasi dan dari debarkasi ke daerah asal menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

BagianKedua

BarangBawaan

Pasal 36

(1). Jemaah Haji dapat membawa barang bawaan ke dan dari Arab Saudi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2). Pemeriksaan atas barang bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri Keuangan.

BABXI

AKOMODASI

Pasal 37

(1). Menteri wajib menyediakan Akomodasi bagi Jemaah Haji tanpa memungut biaya tambahan dari Jemaah Haji di luar BPIH yang telah ditetapkan.

(2). Akomodasi bagi Jemaah Haji harus memenuhi standar kelayakan dengan memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan kemudahan JemaahHaji beserta barang bawaannya.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan Akomodasi bagi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan PeraturanMenteri.

BABXII

PENYELENGGARAANIBADAHHAJIKHUSUS

Pasal 38

(1). Dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan khusus, dapat diselenggarakan Ibadah Haji Khusus yang pengelolaan dan pembiayaannya bersifat khusus.

(2). Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang telah mendapat izin dari Menteri.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksana Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 39

Penyelenggara Ibadah Haji Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, yang akan diberi izin oleh Menteri, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. terdaftar sebagai penyelenggara perjalanan umrah;

b. memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji Khusus; dan

c. memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas IbadahHaji.

Pasal 40

Penyelenggara Ibadah Haji Khusus wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. menerima pendaftaran dan melayani Jemaah Haji hanya yang menggunakan Paspor Haji;

b. memberikan bimbinganIbadahHaji;

c. memberikan layanan Akomodasi, konsumsi, Transportasi, dan Pelayanan Kesehatan secara khusus; dan

d. memberangkatkan, memulangkan, dan melayani Jemaah Haji sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara penyelenggara dan JemaahHaji.

Pasal 41

Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dikenai sanksi administratif sesuai dengan tingkat kesalahannya, yang berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan izin penyelenggaraan; atau

c. pencabutan izin penyelenggaraan.

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BABXIII

PENYELENGGARAANPERJALANANIBADAHUMRAH

Pasal 43

(1). Perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau rombongan melalui penyelenggara perjalanan IbadahUmrah.

(2). Penyelenggara perjalanan IbadahUmrah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau biro perjalanan wisata yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 44

Biro perjalanan wisata dapat ditetapkan sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. terdaftar sebagai biro perjalanan wisata yang sah;

b. memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah; dan

c. memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Ibadah Umrah.

Pasal 45

(1). Penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. menyediakan pembimbing ibadah dan petugas kesehatan;

b. memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. memberikan pelayanan kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyelenggara dan jemaah; dan

d. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia.

(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan perjalanan Ibadah Umrah diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 46

Penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan tingkat kesalahannya, yang berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan izin penyelenggaraan; atau

c. pencabutan izin penyelenggaraan. (2) Ketentuan lebih lanjutmengenai sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan PeraturanPemerintah.

BAB XIV

PENGELOLAAN DANA ABADI UMAT

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 47

(1). Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan DAU secara lebih berdaya guna dan berhasil guna untuk kemaslahatan umat Islam, Pemerintah membentuk BPDAU.

(2). BP DAU terdiri atas ketua/penanggung jawab, dewan pengawas, dan dewan pelaksana.

(3). Pengelolaan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan Ibadah Haji, pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, ekonomi, serta pembangunan sarana dan prasarana ibadah.

Bagian kedua

Tugas dan Fungsi

Pasal 48

(1). BP DAU bertugas menghimpun, mengelola, mengembangkan, dan mempertanggung jawabkan DAU.

(2). BPDAU memiliki fungsi:

a. menghimpun dan mengembangkan DAU sesuai dengan syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. merencanakan, mengorganisasikan, mengelola, danmemanfaatkanDAU; dan

c. melaporkan pengelolaan DAU kepada Presiden dan DPR.

Pasal 49

(1) Dewan pengawasmemiliki fungsi:

a. menyusun sistempengelolaan, pemanfaatan, pengembangan, dan pengawasan DAU;

b. melaksanakan penilaian atas rumusan kebijakan, rencana strategis dan rencana kerja serta anggaran tahunan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU;

c. melaksanakan pengawasan dan pemantauan atas pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan DAU; dan

d. menilai dan memberikan pertimbangan terhadap laporan tahunan yang disiapkan oleh dewan pelaksana sebelum ditetapkan menjadi laporan BPDAU.

(2) Dalam pelaksanaan pengawasan keuangan, dewan pengawas dapat menggunakan jasa tenaga profesional.

Pasal 50

Dewan pelaksana memiliki fungsi:

a. menyiapkan rumusan kebijakan, rencana strategis, dan rencana kerja serta anggaran tahunan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU;

b. melaksanakan program pemanfaatan dan pengembangan DAU yang telah ditetapkan;

c. melakukan penatausahaan pengelolaan keuangan dan aset DAU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. melakukan penilaian atas kelayakan usul pemanfaatan DAU yang diajukan oleh masyarakat;

e. melaporkan pelaksanaan program dan anggaran tahunan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU secara periodik kepada dewan pengawas; dan

f. menyiapkan laporan tahunan BP DAU kepada Presiden danDPR.

Bagian Ketiga

Struktur dan Pengorganisasian

Pasal 51

Ketua/Penanggung Jawab BP DAU adalah Menteri.

Pasal 52

(1) Dewan Pengawas BPDAU terdiri atas 9 (sembilan) orang anggota.

(2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur masyarakat 6 (enam) orang dan unsur Pemerintah 3 (tiga) orang.

(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam.

(4) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk dari departemen yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang agama.

(5) Dewan Pengawas BP DAU dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.

(6) Ketua dan wakil ketua dewan pengawas dipilih dari dan oleh anggota Dewan Pengawas.

Pasal 53

(1) Dewan Pelaksana BPDAU terdiri atas 7(tujuh) orang anggota.

(2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan ditunjuk oleh Menteri.

(3) Dewan Pelaksana dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh Menteri dari anggota Dewan Pelaksana.

Pasal 54

(1) Masa kerja anggota dewan pengawas dan dewan pelaksana dijabat selama 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan anggota dewan pengawas dan dewan pelaksana,

Hubungan kerja, dan mekanisme kerja masing-masing diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 55

Pengangkatan dan pemberhentian ketua dan anggota dewan pengawas serta ketua dan anggota dewan pelaksana ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 56

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BP DAU dibantu oleh sekretariat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Sekretariat BPDAU diatur dengan PeraturanMenteri.

BagianKeempat

PengembangandanPembiayaan

Pasal 57

Pengembangan DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) meliputi usaha produktif dan investasi yang sesuai dengan syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 58

Hasil pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dapat digunakan langsung sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah ditetapkan.

Pasal 59

BP DAU dapat memperoleh hibah dan/atau sumbangan yang tidak mengikat dari masyarakat atau badan lain.

Pasal 60

(1) Biaya operasional BP DAU dibebankan pada hasil pengelolaan dan pengembangan DAU.

(2) Dalam hal tertentu, biaya operasional BP DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibiayai oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri sebagai Ketua/Penanggung Jawab BP DAU.

Pasal 61

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan DAU diatur dengan Peraturan Menteri.

BagianKelima

Pertanggungjawaban

Pasal 62

Ketua/Penanggung Jawab BPDAU menyampaikan laporan pertanggung jawaban pengelolaan DAU kepada Presiden dan DPR setiap tahun.

BABXV

KETENTUANPIDANA

Pasal 63

(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai penerima pembayaran BPIH sebagaimana dimaksud dalamPasal 22 ayat (1) dan/atau sebagai penerima pendaftaran Jemaah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4(empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah sebagaimana dimaksud dalamPasal 43 ayat (2) dipidana dengan pidana penjarapaling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyakRp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 64

(1) Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling

lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00(satu miliar rupiah).

(2) Penyelenggara perjalanan IbadahUmrah yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00(satu miliar rupiah).

BABXVI

KETENTUANPERALIHAN

Pasal 65

(1) KPHI sudah harus dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

(2) Pemerintah menjalankan tugas dan fungsi KPHI sampai dengan terbentuknya KPHI.

BABXVII

KETENTUANPENUTUP

Pasal 66

Semua peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus diselesaikan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak diundangkannya Undang- Undang ini.

Pasal 67

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan IbadahHaji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3832) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 68

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3832) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 69

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal28April 2008

PRESIDENREPUBLIKINDONESIA,

ttd

DR.H.SUSILOBAMBANGYUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal28April 2008

MENTERIHUKUMDANHAKASASIMANUSIA

REPUBLIKINDONESIA,

ttd

ANDIMATTALATTA

LEMBARANNEGARAREPUBLIKINDONESIATAHUN2008NOMOR60