Senin, 12 Januari 2009

PP No. 4 Tahun 2006

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2006
TENTANG
PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA
PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan dan Kerja sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).

Menetapkan :

MEMUTUSKAN :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN
DAN KERJA SAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis.
2. Penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Pendampingan adalah segala tindakan berupa konseling, terapi psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani, guna penguatan diri korban kekerasan dalam rumah tangga untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
4. Kerjasama adalah cara yang sistematis dan terpadu antar penyelenggara pemulihan dalam memberikan pelayanan untuk memulihkan korban kekerasan dalam rumah tangga.
5. Petugas penyelenggara pemulihan adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
6. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.

BAB II
PENYELENGGARAAN PEMULIHAN
Pasal 2
(1) Penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban.
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian;
b. tenaga yang ahli dan profesional;
c. pusat pelayanan dan rumah aman; dan
d. sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 3
(1) Menteri menetapkan pedoman pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga yang sensitif gender.
(2) Pedoman pemulihan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4
Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi :
a. pelayanan kesehatan;
b. pendampingan korban;
c. konseling;
d. bimbingan rohani; dan
e. resosialisasi.

Pasal 5
(1) Pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan disarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta dengan cara memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban.
(2) Pendampingan korban dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani dengan cara memberikan konseling, terapi, bimbingan rohani dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban.
(3) Pemberian konseling dilakukan oleh pekerja sosial, relawan pendamping, dengan mendengarkan secara sempati dan menggali permasalahan untuk penguatan psikologis korban.
(4) Bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
(5) Resosialisasi korban dilaksanakan oleh instansi social dan lembaga sosial agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat.

Pasal 6
Untuk kepentingan pemulihan, korban berhak mendapatkan pelayanan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.

Pasal 7
(1) Tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, dan kebutuhan medis korban.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan dasar dan sarana kesehatan rujukan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat termasuk swasta.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

Pasal 8
(1) Dalam memberikan pelayanan kepada korban, tenaga kesehatan melakukan upaya :
a. anamnesis kepada korban;
b. pemeriksaan kepada korban;
c. pengobatan penyakit;
d. pemulihan kesehatan, baik fisik maupun psikis;
e. konseling; dan/atau
f. merujuk ke sarana kesehatan yang lebih memadai bila diperlukan.
(2) Selain upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kasus tertentu, tenaga kesehatan dapat melakukan :
a. pelayanan keluarga berencana darurat untuk korban perkosaan; dan
b. pelayanan kesehatan reproduksi lainnya sesuai dengan kebutuhan medis.
(3) Dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tenaga kesehatan harus membuat rekam medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Untuk setiap tindakan medis yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan harus ada persetujuan tindakan medis (informed consent) dari korban atau keluarganya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Untuk keperluan penyidikan, tenaga kesehatan yang berwenang harus membuat visum et repertum dan/atau visum et repertum psichiatricum atau membuat surat keterangan medis.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

Pasal 9
(1) Pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada korban, dapat dilakukan di rumah aman, pusat pelayanan atau tempat tinggal alternatif milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
(2) Dalam hal diperlukan dan atas persetujuan korban, korban dapat ditempatkan oleh pekerja sosial di rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat tinggal alternative yang aman untuk melindungi korban dari ancaman.
(3) Pengadaan rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat tinggal alternatif yang dilakukan masyarakat dapat difasilitasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan pelayanan pada rumah aman, atau tempat tinggal alternatif milik pemerintah, diatur dengan Peraturan Menteri Sosial.

Pasal 10
Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan, setelah memperhatikan saran dan pertimbangan menteri, dapat menyelenggarakan pusat pelayanan milik pemerintah.

Pasal 11
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pekerja sosial melakukan upaya :
a. menggali permasalahan korban untuk membantu pemecahan masalahnya;
b. memulihkan korban dari kondisi traumatis melalui terapi psikososial;
c. melakukan rujukan ke rumah sakit atau rumah aman atau pusat pelayanan atau tempat alternatif lainnya sesuai dengan kebutuhan korban;
d. mendampingi korban dalam upaya pemulihan melalui pendampingan dan konseling; dan/atau
e. melakukan resosialisasi agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya di dalam masyarakat.

Pasal 12
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, relawan pendamping melakukan upaya :
a. membangun hubungan yang setara dengan korban agar bersedia membuka diri dalam mengemukakan persoalannya;
b. berempati dan tidak menyalahkan korban mengenai atau yang terkait dengan permasalahannya;
c. meyakinkan korban bahwa tidak seorang pun boleh melakukan tindakan kekerasan;
d. menanyakan apa yang ingin dilakukan dan bantuan apa yang diperlukan;
e. memberikan informasi dan menghubungkan dengan lembaga atau perorangan yang dapat membantu mengatasi persoalannya; dan/atau
f. membantu memberikan informasi tentang layanan konsultasi hukum.

Pasal 13
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pembimbing rohani melakukan
upaya :
a. menggali informasi dan mendengarkan keluh kesah dari korban;
b. mempertebal keimanan dan ketakwaan korban serta mendorong untuk menjalankan ibadat menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu.
c. menyarankan pemecahan masalah kekerasan dalam rumah tangga menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu.
d. memberikan pemahaman mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Pasal 14
Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dapat diberikan juga kepada pelaku dan anggota keluarganya.

BAB III
KERJASAMA PEMULIHAN
Pasal 15
(1) Menteri dapat melakukan koordinasi mengenai pelaksanaan kerjasama dalam rangka pemulihan korban.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri dapat membentuk forum koordinasi pusat yang keanggotaannya berasal dari instansi terkait dan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan koordinasi, syarat dan tata cara pembentukan forum koordinasi diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 16
(1) Untuk melaksanakan kerjasama dalam rangka pemulihan korban, pemerintah daerah dapat melakukan koordinasi antar instansi terkait dengan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu badan yang khusus membidangi pemberdayaan perempuan dan anak.
(3) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk oleh Gubernur.

Pasal 17
(1) Tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan pembimbing rohani dapat melakukan kerjasama dalam melaksanakan pemulihan korban.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan sebagai berikut :
a. melakukan rujukan dalam pelaksanaan upaya pemulihan korban; dan
b. penyiapan fasilitas rumah aman atau tempat alternative bagi korban.

Pasal 18
Dalam hal tertentu, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat menjalin kerjasama dengan :
a. kepolisian, untuk melaporkan dan memproses pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga;
b. advokat, untuk membantu korban dalam proses peradilan;
c. penegak hukum lainnya, untuk membantu korban dalam proses di sidang pengadilan;
d. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan;
e. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI);
f. pihak tertentu yang diinginkan demi kepentingan korban.

Pasal 19
Untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20
Pemerintah dan pemerintah daerah :
a. menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan kepada korban;
b. mengupayakan efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban; dan
c. mengupayakan terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam upaya pemulihan korban.

Pasal 21
Menteri melakukan pemantauan, evaluasi, dan peningkatan kinerja pelaksanaan kerjasama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga secara transparan dan bertanggung jawab.

BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 22
Segala biaya untuk pelaksanaan pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; dan
c. sumber pendapatan lain yang sah yang perolehannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Pebruari 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd


DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Pebruari 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK AZASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 15
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesra,
Wisnu Setiawan





PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2006
TENTANG
PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA DALAM UPAYA
PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

I. UMUM
Upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga perlu terus dilakukan, yang pelaksanaannya dilakukan secara terkoordinasi dan
terpadu antar lintas sektor baik pada tingkat pusat, provinsi, maupun
kabupaten/kota. Untuk kelancaran pelaksanaan pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga, perlu peraturan perundang-undangan
yang mengatur penyelenggaraan dan kerja sama antar instansi
pemerintah dengan melibatkan masyarakat. Upaya pemulihan tersebut
merupakan amanat dari pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Guna menunjang pelaksanaan tersebut, perlu pengaturan mengenai
penyelenggaraan dan kerja sama pemulihan korban dengan menentukan
tugas dan fungsi masing-masing dan kewajiban serta tanggung jawab
tenaga kesehatan, pekerja sosial, pembimbing rohani dan relawan
pendamping. Untuk lebih mengefektifkan pelayanan terpadu, maka
dalam peraturan ini dibentuk forum koordinasi yang akan
mengkoordinasikan antar petugas pelayanan, sekaligus menyusun
rencana program bagi peningkatan upaya pemulihan korban kekerasan
dalam rumah tangga. Forum koordinasi tersebut dibentuk di pusat dan
di daerah. Menteri membentuk forum koordinasi di tingkat pusat,
sedangkan di daerah dibentuk oleh Gubernur.
Penyelenggaraan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah
tangga diarahkan pada pulihnya kondisi korban seperti semula baik fisik
maupun psikis dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga korban
dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari dan dapat hidup di tengah
masyarakat seperti semula. Oleh karena itu, pelayanan harus
dilaksanakan semaksimal mungkin segera setelah adanya pengaduan
atau pelaporan dari korban untuk memperoleh pelayanan bagi
pemulihan kondisi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Dengan demikian, upaya penyelenggaraan pemulihan korban kekerasan
dalam rumah tangga pada dasarnya bertujuan menjamin terlaksananya
kemudahan pelayanan korban kekerasan dalam rumah tangga,
menjamin efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga dan terciptanya kerja sama dan
koordinasi yang baik dalam pemulihan korban kekerasan dalam rumah
tangga antar instansi, antar petugas pelaksana, dan antar lembaga
terkait lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud pusat pelayanan adalah yang dikenal
dengan trauma center, sedangkan rumah aman dikenal
dengan shelter.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “konseling” adalah pemberian bantuan
oleh seseorang yang ahli atau orang yang terlatih sedemikian
rupa sehingga pemahaman dan kemampuan psikologis diri
korban meningkat dalam memecahkan permasalahan yang
Hurudf idhadapi.
Yang dimaksud dengan “bimbingan rohani” adalah konseling
yang diberikan oleh rohaniwan.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Instansi Sosial adalah instansi pemerintah yang ruang lingkup
tugasnya menangani urusan sosial, dan instansi pemerintah
daerah yang menanggulangi masalah sosial.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Standar Profesi” adalah batasan
kemampuan (knowledge, skill and proffesional attitude)
minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk
dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat
secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.
Yang dimaksud dengan “Standar Prosedur Operasional”
adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu, yang dibuat oleh sarana kesehatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sarana kesehatan antara lain
puskesmas, balai pengobatan, dan rumah sakit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “rekam medis” adalah berkas yang
berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain
kepada pasien (korban) pada sarana kesehatan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “persetujuan tindakan medis”
(informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien (korban) atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
korban tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara lisan
atau tertulis.
Ayat (5)
Visum et repertum dibuat oleh dokter yang memeriksa
korban dan visum et repertum psichiatricum dibuat oleh
dokter spesialis kesehatan jiwa.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4604

Keppres RI No. 77 Tahun 2003

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 77 TAHUN 2003
TENTANG
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,





Menimbang : a. bahwa untuk mencapai tujuan penyelenggaraan perlindungan anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diperlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat secara melembaga;
b. bahwa sehubungan dengan huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 75 ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dipandang perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah lembaga yang bersifat independen yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 2
Komisi Perlindungan Anak Indonesia berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB II
TUGAS
Pasal 3

Komisi Perlindungan Anak Indonesia mempunyai tugas :
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;
b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

BAB III ORGANISASI Bagian Pertama Keanggotaan Pasal 4
Susunan keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari :
a. 1 (satu) orang Ketua;
b. 2 (dua) orang Wakil Ketua;
c. 1 (satu) orang Sekretaris;
d. 5 (lima) orang Anggota.

Pasal 5
Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terdiri dari unsur :
a. pemerintah;
b. tokoh agama;
c. tokoh masyarakat;
d. organisasi sosial;
e. organisasi kemasyarakatan;
f. organisasi profesi;
g. lembaga swadaya masyarakat;
h. dunia usaha; dan
i. kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.

Pasal 6

(1) Pengisian jabatan dalam susunan keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dipilih dan dilaksanakan sendiri oleh para anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengisian jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan Anak Indonesia.


Bagian Kedua
Kesekretariatan
Pasal 7
(1)Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dibantu oleh Sekretariat.
(2)Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh Kepala Sekretariat, yang dalam melaksanakan tugasnya secara fungsional bertanggungjawab kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
(3) Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh satu unit kerja yang berada di lingkungan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

Bagian Ketiga
Kelompok Kerja
Pasal 8
(1) Untuk menunjang pelaksanaan tugas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat membentuk kelompok kerja.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas, dan tata kerja Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Bagian Keempat
Perwakilan
Pasal 9
(1) Apabila dipandang perlu dalam menunjang pelaksanaan tugasnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat membentuk Perwakilan di Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Perwakilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Pasal 10
Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 11
Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Pasal 12
(1) Untuk pertama kali, keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Sosial.
(2) Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Sosial dalam memilih keanggotaan yang diusulkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh Tim Seleksi.
(3) Pengusulan keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang diusulkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan Anak Indonesia dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Jumlah calon keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang diusulkan sebanyak 18 (delapan belas) orang.
(6) Presiden dapat menolak keanggotaan yang diusulkan apabila tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13
(1) Dalam hal Pegawai Negeri Sipil duduk dalam keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai unsur Pemerintah, Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberhentikan dari jabatan organiknya tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat jenjang pangkat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila telah mencapai batas usia pensiun dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 14

Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang berhenti sebelum berakhirnya masa jabatan diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

BAB V
MEKANISME KERJA
Pasal 15

(1) Pelaksanaan tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia dilakukan dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
(2) Laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden disampaikan atas dasar kesepakatan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Pasal 16

Apabila dipandang perlu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan instansi Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, dan pihak-pihak lain yang dipandang perlu.

Pasal 17
Mekanisme kerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia didasarkan pada prinsip pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas, efektifitas, dan efisiensi.

Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme kerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

BAB VI PEMBIAYAAN Pasal 19

Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Oktober 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.



MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II ttd. Edy Sudibyo

Pidato Presiden Republik Indonesia


PEMBUKAAN RAKORNAS PP DAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK, DI ISTANA NEGARA, JAKARTA, 17 JULI 08

Kamis, 17 Juli 2008
SAMBUTAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADA ACARA
PEMBUKAAN RAPAT KOORDINASI NASIONAL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
TAHUN 2008
DI ISTANA NEGARA, JAKARTA
PADA TANGGAL 17 JULI 2008


Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua,

Yang saya hormati, Saudari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan beserta Bapak Sri Edi Swasono, para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, para Gubernur, Wakil Gubernur, atau yang mewakili, yang hadir pada acara yang penting ini, para Pimpinan Lembaga-lembaga Pemerintah non Departemen dan Pejabat Pemerintah baik pusat maupun daerah, Keluarga Besar Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, para Penerima penghargaan yang telah berdedikasi untuk memajukan kaum perempuan, termasuk kesejahteraan dan perlindungan anak.

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

Marilah sekali lagi pada kesempatan yang baik dan, insya Allah, penuh berkah ini, kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan ridho-Nya, kepada kita semua masih diberi kesempatan, kekuatan, dan kesehatan untuk melanjutkan ibadah kita, pengabdian kita, karya kita, serta tugas kita kepada masyarakat, bangsa, dan negara tercinta. Saya juga mengucapkan selamat datang kepada peserta Rapat Koordinasi Nasional Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak yang, insya Allah, akan segera kita buka pada pagi ini.

Hadirin sekalian yang saya cintai,

Acara ini sungguh penting dan saya berharap Rakornas kali ini menghasilkan sesuatu yang membawa kebaikan bagi nasib dan masa depan kaum perempuan dan anak Indonesia serta meningkatkan kinerja dari jajaran Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan seluruh jajaran pemerintahan di negeri ini, pusat dan daerah, untuk meningkatkan tugas dan pengabdiannya di waktu yang akan datang. Saya juga menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang tadi satu-persatu telah menerima penghargaan dari Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan. Teruskanlah untuk berprestasi, berbuat baik, dan mengabdi kepada sesama, utamanya kaum perempuan dan anak-anak kita.

Saudara-saudara,

Tadi Ibu Meutia Hatta menyampaikan apa yang disampaikan oleh mantan Sekjen PBB, Kofi Anan. Ada orang bijak yang juga mengatakan bahwa seorang pemimpin dunia yang terkenal, seorang jenderal yang masyhur di dalam peperangan, seorang sarjana yang melakukan penemuan besar yang mengubah jalannya sejarah, seorang pengusaha yang tumbuh dan akhirnya menjadi pengusaha yang sukses. Mereka semua memiliki jalan sendiri-sendiri untuk menuju ke puncak kejayaan itu. Tapi satu hal, semua dilakukan oleh seorang perempuan, oleh seorang ibu. Bahkan, supaya ibu-ibu lebih senang lagi, konon karier seseorang juga lebih berhasil karena didorong oleh istri, kalau yang bersangkutan ... . Putra-putrinya pun juga ikut mendorong, lengkap sudah keluarga itu, ayah, ibu, dan putra-putrinya. Oleh karena itu, ini adalah dasar dari sebuah kehidupan yang mesti kita rawat baik-baik, mesti kita majukan agar keluarga itu betul-betul menjadi pilar penting dalam pembangunan sebuah peradaban, civilization, yang sama-sama hendak kita kembangkan di negeri tercinta ini.

Saudara-saudara,

Kita mendengarkan dengan seksama sambutan dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Saya tidak akan mengulangi, hanya ingin memberikan beberapa hal yang mesti kita pedomani dan kita jalankan bersama-sama untuk, sekali lagi, memajukan kehidupan kaum perempuan dan anak-anak kita.

Pertama, pembangunan dalam arti luas, kaum perempuan dan anak-anak, merupakan prioritas dari pembangunan yang dilaksanakan oleh kita semua dan tentunya pemerintah berdiri di depan untuk menjalankan pembangunan ini. Kita melakukan semua upaya untuk melakukan perlindungan kepada kaum perempuan dan anak-anak, perlindungan dari kekerasan, dari kejahatan, dari tekanan hidup yang sangat berlebihan ketika mereka mengalami bencana, dan lain-lain. Ini yang paling penting, we protect that. Kita lindungi dari semuanya itu. Setelah itu, ingat mereka memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Kita meningkatkan terus-menerus kualitas kehidupan mereka, the quality of life, dari kaum perempuan dan anak-anak yang terutama kita jalankan melalui pendidikan dan kesehatan sehingga mereka terjangkau oleh pendidikan dan kesehatan itu.

Setelah itu, makin tinggi lagi, kita terus memberdayakan, memajukan kaum perempuan di berbagai bidang, bidang ekonomi, bidang sosial, bidang politik, dan segala cabang kehidupan untuk perempuan dan untuk anak-anak. Setelah mereka mendapatkan hak dasarnya, pendidikan, kesehatan, setelah mereka kita lindungi dari berbagai tekanan yang amat berat apalagi kejahatan, maka kita menyiapkan mereka, menyiapkan generasi muda untuk menjadi manusia-manusia unggul, sehingga cita-cita bersama kita, Indonesia menjadi negara maju, developed country, pada abad 21 ini dapat kita wujudkan.

Semua itu bisa saya sari patikan dalam satu statement katakanlah, bahwa pemerintah Indonesia sungguh mengarusutamakan pembangunan kaum perempuan dan anak-anak, sekaligus mengarusutamakan gender dalam pembangunan kita, mainstreaming semuanya itu. Jadi jangan ragu-ragu untuk mengatakan, jangan tidak yakin diri bahwa apa yang kita lakukan ini sudah benar, kebijakannya benar, program-programnya benar, tentu ada masalah di sana-sini, ada hambatan di sana-sini. Mari kita atasi hambatan itu, kita pecahkan masalah itu, tetap pada prioritas yang hendak kita kembangkan bersama-sama ke depan dan kini.

Saudara-saudara,

Saya dan kita semua tentu gembira, setelah kita mengalami krisis yang dahsyat, sepuluh tahun yang lalu, banyak sekali hal-hal yang stagnan, mandek, bahkan ada juga yang mundur, setback, maka dengan kerja keras kita semua, seluruh rakyat Indonesia, para penyelenggara negara dan pemerintah, tahun demi tahun kondisi itu dapat kita perbaiki. Sebagai contoh, kalau kita bicara indeks pembangunan manusia, Human Development Index, yang diukur dari pendapatan, dari tingkat pendidikan yang dia alami, dari pelayanan kesehatan yang dia terima, orang-seorang, dari tahun ke tahun mengalami kenaikan.

Yang kedua, indeks pembangunan gender, Gender Related Development Index, disampaikan tadi ada perbaikan. Indeks pemberdayaan gender, Gender Empowerment Masses, ada kenaikan. MDG kita, Millenium Development Goal, yang kita ingin capai bersama-sama dengan masyarakat global pada tahun 2015 nanti, untuk Indonesia dinilai on track. Ini kita syukuri, ini tentu harus kita akui karena kerja keras kita semua. Tetapi ingat, masih panjang perjalanan yang harus kita tempuh, meskipun ada perbaikan-perbaikan, tapi kita semua tentu belum puas, kita harus berbuat lebih banyak lagi, lebih serius lagi, lebih terpadu lagi di seluruh tanah air, we have to do more, much more, supaya betul-betul kemajuan itu makin tinggi di waktu yang akan datang.

Hadirin yang saya hormati,

Kalau kita sering melihat tayangan televisi di dalam dan di luar negeri, katakanlah kalau media internasional itu CNN, BBC, Al-Jazeera, dan banyak lagi, yang hampir tiap saat bisa kita lihat. Kita sering sedih, iba, banyak sekali tragedi kemanusiaan, banyak sekali kondisi yang ekstrim menyangkut kaum perempuan dan anak-anak di seluruh dunia ini. Saya tidak akan menyebut negara-negara mana yang mendapatkan cobaan, ujian, dan tantangan itu, dan sering dengan mata telanjang kita, kita melihat kondisi seperti itu. Sering saya katakan, juga di ruangan ini, penduduk dunia sekarang jumlahnya sekitar 6,4 milyar manusia. Separuh dari jumlah itu masih miskin. Dari yang miskin itu ada yang ekstrim, 800 juta manusia di dunia ini kalau malam tidak bisa tidur atau tidurnya tidak nyenyak karena menahan rasa lapar, 800 juta, 200 juta diantaranya adalah anak-anak dan tentu kaum perempuan di situ. Kita bertanya: Adakah yang di ruangan ini merasa tiap malam tidak bisa tidur karena lapar? Kalau tidak, bersyukur. Tetapi ingat, masih ada saudara-saudara kita, umat manusia di dunia, termasuk barangkali bangsa Indonesia yang belum secukup, selayak kehidupan saudara-saudaranya yang lain. Ini memerlukan empati dan bukan hanya empati, memerlukan kerja nyata kita, bantuan kita untuk meringankan beban mereka. Pemerintah tentunya berdiri di depan, berkewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan itu, mengurangi penderitaan dan kemiskinan dan ini adalah kewajiban moral dari seluruh komponen bangsa. Oleh karena itu, mari kita teruskan upaya-upaya konkrit untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengurangi kemiskinan secara sistematis.

Alhamdullilah, dari tahun ke tahun, keadaaan kesejahteraan kita, meskipun mengalami tantangan-tantangan yang berat seperti bencana tsunami dan berbagai bencana alam, meroketnya harga minyak dunia sekarang ini, inflasi pangan dunia yang memukul juga perekonomian kita, tetapi sekali lagi dengan kerja keras kita, kita terus mengatasi dan memperbaiki kesejahteraan itu. Meskipun masih ada titik-titik yang rawan, ada spot-spot di negara kita ini yang rawan gizi, rawan bencana alam, menimbulkan gangguan pertanian, dan lain-lain. Itu jangan dihindari, ditangani dengan sebaik-baiknya. Saya yakin kalau semua berpikir seperti itu maka setiap masalah pasti dapat dicarikan solusinya.

Saudara-saudara,

Minggu lalu saya menghadiri pertemuan G8+8 di Hokkaido, Jepang. Topiknya kebetulan menyangkut dengan apa yang kita bicarakan hari ini. G8 itu adalah negara-negara yang dianggap paling maju, paling kuat, paling besar, paling kaya di dunia ini yaitu Amerika Serikat, ada Jepang, ada Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Rusia, Kanada. Mereka ngundang 8 negara lain yang disebut dengan major economies, itu China, India, Brazilia, Afrika Selatan, Korea Selatan, kemudian Australia, nah, alhamdullilah, untuk pertama kali Indonesia diundang dalam forum G8+8 itu.

Yang dibicarakan adalah perubahan iklim yang membawa malapetaka yang mengubah tatanan atau struktur iklim, memukul banyak sektor-sektor pertanian, mengakibatkan kekurangan pangan dan lain-lain. Akhirnya, menimpa kaum perempuan dan anak-anak di banyak negara. Kita bahas bagaimana menyelamatkan dunia bersama-sama, memelihara bumi kita ini baik-baik. Setelah itu kita membahas, melihat meroketnya harga minyak, inflasi pangan, dan juga gejolak perekonomian sepert ini, saya, alhamdullilah, karena mewakili negara berkembang, menyampaikan pandangan-pandangan, kritik-kritik, ajakan, dan harapan bagaimana dunia ini lebih adil, dunia ini lebih berimbang, dunia ini memperhatikan terutama bangsa-bangsa yang menderita karena tantangan dunia yang tentunya belum adil, yang mesti harus kita perjuangkan.

Yang ingin saya sampaikan adalah, dalam forum itu, saya sampaikan kalau ini tidak bisa kita selesaikan dengan baik, gejolak minyak dunia, pangan, climate change atau perubahan iklim, maka MDGs, Millenium Development Goal, komit untuk mengurangi kemiskinan bangsa-bangsa sedunia separuhnya pada tahun 2015, saya khawatir tidak bisa kita capai, justru akan muncul kantong-kantong kemiskinan yang baru di seluruh dunia dan tentunya dengan segala kompleksitas permasalahannya. Kewajiban kita untuk juga menyerukan kepada forum global seperti itu, tetapi tidak perlu kita harus menunggu belas kasihan dunia, tidak perlu kita harus menunggu hadirnya tatanan dunia yang adil. Mari kita sendiri lebih mandiri, lebih bertanggung jawab dengan segala kemampuan yang ada, kita lakukan yang bisa kita lakukan. Itu yang harus menjadi tekad kita sebagai bangsa karena kita bukan bangsa yang kecil. Kita juga punya kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah yang kita hadapi.

Dalam kaitan ini, berkaitan dengan konteks Indonesia, saya harus sekali lagi mengatakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi kemiskinan, memajukan kaum perempuan dan anak-anak kita, semua bertanggung jawab, semua harus bekerja. Mulai dari saya, Presiden, para Menteri, para Gubernur, para Bupati, para Walikota. Mengapa? Karena semua mengemban amanah untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan itu. Ada satu contoh, satu kasus yang harus kita jadikan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab kita.

Suatu saat ada SMS masuk kepada Ibu Negara. Karena ratusan, ribuan SMS itu masuk, baik kepada staf saya, pada 9949, untuk SMS itu, atau surat PO BOX 9949 Jakarta 10000 atau ke staf saya, ajudan saya, ratusan. Jumlahnya sekarang, sejak Juli tahun 2005 sudah 2,5 juta lebih SMS yang tiap dua minggu kita bedah, kita simpulkan apa saja isu-isu yang menonjol, harapan rakyat, kritik rakyat, protes rakyat, dukungan rakyat, dan sebagainya. Jadi saya bisa mengukur denyut nadi rakyat, apa yang dirasakan karena barangkali tidak semua muncul dalam media massa.

Saudara-saudara,

Ada SMS yang masuk, kebetulan kami sedang di luar kota, tugas di daerah, SMS itu bunyinya: ada seorang ibu, putranya, anaknya sakit. Umur berapa ibu? Yang kurang gizi katanya itu. Ya, yang masih balita begitu, katanya sakit, terus minta perhatian dan bantuan. Rupanya karena kami dalam perjalanan, begitu selesai acara kita buka SMS itu, sudah datang SMS satunya lagi, bahwa anak itu meninggal. Kemudian, menceritakan bagaimana, begini, begitu, ya kira-kira, ya protes. Maka secara persuasif kita jawab: Ibu, Bapak, itu putranya meninggal kenapa? Misalkan, katakanlah kekurangan gizi. Sudahkah dibawa ke Posyandu, ke Puskesmas? Sudahkah berkonsultasi dengan fasilitas kesehatan yang untuk rakyat miskin itu free, bebas, dan seterusnya, dan seterusnya. Kalau satu anak, tentu yang paling tahu, yang harus aktif keluarganya, ibu, ayah, pun tetangga-tetangganya kalau itu serius, mungkin juga kepala desanya. Nah, kalau semua elemen di negeri ini, semua strata kepemimpinan di negeri ini peduli, bertanggung jawab, dan juga berbuat sesuatu dan rakyat sendiri juga berkomunikasi dengan para pemimpinnya, Kepala Desa, Camat, Bupati, Walikota, Dokter setempat, Puskesmas, dan lain-lain, tentu banyak yang bisa kita lakukan, banyak yang kita selamatkan. Jadi, semua harus mengambil tanggung jawab.

Kalau dari seluruh Indonesia ada satu Kecamatan karena kemarau panjang tiba-tiba kekurangan gizi, rawan pangan, maka yang harus lebih responsif, lebih cekatan, lebih bertindak, ya, Pak Camat dan di atasnya, Pak Bupati, mungkin Pak Gubernur bisa, kalau memang serius bisa membantu. Kalau serius saya turunkan Menteri. Tapi jangan menunggu sampai turunnya pusat ke daerah itu, urusan Kecamatan. Begitu cara berpikir kita. Dengan demikian, kalau semua sistem bekerja, simpul-simpul pemerintahan itu bergerak mengambil langkah-langkah yang nyata maka meskipun masalah selalu ada, bagi negara berkembang, tapi kita cepat mengatasinya dan tidak melebar dan bahkan kita bisa melakukan perbaikan-perbaikan yang semestinya. Ini saya sampaikan sekaligus bahwa kita perlukan kebersamaan seperti itu, sharing tanggung jawab dan kewajiban.

Saudara-saudara,

Semua telah mengetahui bahwa pemerintah telah menetapkan dan menjalankan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, untuk mengurangi kemiskinan, untuk memajukan kaum perempuan dan anak-anak. Mari kita sukseskan, mari kita jalankan. Jangan ada yang apatis, apalagi abdi negara, apalagi jajaran pemerintahan. Jangan ada yang lalai apalagi menghambat. Ini untuk rakyat, untuk mereka, untuk yang memerlukan bantuan nyata. Mari kita ambil tanggung jawab penuh dengan kepemimpinan yang baik untuk menyukseskan semua program itu. Saya tidak ingin mengulangi lagi, ada cluster-cluster atau paket-paket bantuan, seperti bantuan pendidikan bagi yang miskin, kesehatan bagi yang miskin, lantas beras untuk rakyat miskin, bantuan langsung tunai bersyarat, bantuan untuk lanjut usia, bantuan bagi yang terkena musibah bencana, semua itu dalam paket bantuan dan perlindungan sosial. Kita jalankan dan pemerintah daerah mesti berdiri di depan, pusat harus lebih menyerahkan kepada daerah karena mereka yang lebih tahu kondisi riil di situ.

Paket yang satunya lagi adalah PNPM Mandiri, pemberdayaan, alokasi dana untuk memberdayakan masyarakat lokal. Ini juga harus mengalir dengan baik. Ada lagi Kredit Usaha Rakyat dengan sistem agunan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah, membantu mereka tumbuh usahanya. Ini juga harus sukses karena ada kenaikan BBM, ada bantuan langsung tunai untuk sementara bagi yang memerlukan. Ini tentunya program-program yang harus kita sukseskan di seluruh tanah air. Saya tidak bisa menerima alasan apa pun program ini tidak mengalir, tidak berjalan. Ini akuntabilitas kepada rakyat, akuntabilitas kepada publik dan saya sudah meminta pers, angkat daerah-daerah mana yang tidak berjalan programnya dan mengapa. Angkat daerah-daerah mana yang bagus programnya supaya rakyat Indonesia tahu pemimpin-pemimpin yang cekatan, baik pusat maupun daerah, pemimpin-pemimpin mana yang biasa-biasa saja, baik pusat maupun daerah.

Ini iklim keterbukaan yang harus kita manfaatkan secara positif. Rakyat mesti tahu apa kebijakan dan program pemerintah, rakyat juga mesti tahu apa yang dilakukan oleh kita untuk menyukseskan program-program itu. Ini yang kita tuju dan kita bangun sekarang ini.

Saudara-saudara,

Saya ingin menggarisbawahi kaum perempuan, PNPM, KUR, dan program-program sosial, kaum perempuan berdirilah di depan. Di ruangan ini saya pernah mengundang seorang penerima Nobel Perdamaian, namanya Muhammad Yunus. Saya undang beliau, saya berikan kesempatan memberikan lecture atau ceramah di ruangan ini, saya undang banyak pihak waktu itu. Saya tanyakan kepada beliau, Pak Yunus, mengapa berhasil program usaha mikro, kecil, dan menengah, dan kredit yang diberikan oleh Grameen Bank waktu itu? Dijelaskan. Tapi satu hal, berhasil dengan baik sampai beliau mendapatkan hadiah nobel karena pelibatan kaum perempuan. Untuk tidak geer, untuk tidak geer, kaum perempuan itu lebih teliti, lebih rajin, lebih disiplin, sehingga kalau memikirkan kredit usaha mikro, kecil, kredit Rp 1 juta, 2 juta, 5 juta, 10 juta itu lebih tepat sasaran, mengangsurnya mesti tepat, tidak digunakan yang aneh-aneh, kemudian tumbuh dan sebagainya.
Jadi kalau membantu para Bupati, Walikota, tentu pahalanya besar, dan kemudian tentu membawa manfaat bagi rakyat. Tolonglah, kaum perempuan, organisasi-organisasi, komunitas, dan Kementerian Negara PP tentu ikut mendorong mereka melakukan hal yang sangat penting itu.

Saudara-saudara,

Memang banyak sekali teori dan wacana untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, tapi akhirnya yang diperlukan ini langkah nyata. Diskusi itu penting, pembahasan penting, teori bagus, wacana, harus dalam sebuah kehidupan demokrasi. Tapi tidak cukup hanya itu. Nggak ke mana-mana, kemiskinan tidak akan turun, masyarakat tidak tambah sejahtera kalau habis waktu kita, tenaga kita, sumber daya kita, uang kita, hanya untuk itu. Selebihnya harus kita gunakan untuk menjalankan program dan langkah nyata. Dan ingat saudara-saudara kita yang masih miskin, bukan untuk kita eksploitasi. Ini mungkin kita namanya, ayo kita dengan penuh persaudaraan, suatu saat mereka-mereka juga akan berdaya. Suatu saat mereka juga tidak akan miskin dan sejahtera. Dengan pendekatan kasih sayang, dengan pendekatan tanggung jawab saya yakin akan lebih cepat peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengurangan kemiskinan, bukan dengan cara-cara yang lain yang barangkali dalam musim Pemilu itu akan muncul. Saya katakan baik-baik saja. Boleh-boleh saja iklan politik, kampanye politik, dan seterusnya. Tetapi di atas segalanya, langkah nyata, kerja kita, program kita. Kita yang sedang mengemban amanah di jajaran pemerintahan, ya, mari kita ambil tanggung jawab ini dengan sepenuh-penuhnya untuk rakyat mereka.

Saudara-saudara,

Ada satu-dua isu yang ingin saya sampaikan. Masalah tenaga kerja, termasuk tenaga kerja wanita kita yang sebagian besar juga ada putra-putrinya pada saat mereka bekerja di luar negeri, utamanya di Malaysia. Saya dengan para Menteri dan Pejabat terkait terus memikirkan, meningkatkan perlindungan, pelayanan bagi saudara-saudara kita itu. Sebagai contoh di Kuala Lumpur, sekian bulan yang lalu masih belum bagus benar, dua-tiga bulan yang lalu saya cek kembali, saya data kembali, berubah semuanya. Cepat, nyaman, dan terlayani dengan baik sehingga sebagai bangsa kita juga menghormati negara lain. Bagus pelayanan kita, perlakuan kita kepada bangsa dan warga sendiri juga bagus.

Tahun 2006, saya dengan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi, itu melaukan pertemuan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Saya mengusulkan kepada Pak Lah pada waktu itu, tolonglah karena dari sekian ratus ribu tenaga kerja Indonesia, terutama di Serawak dan di Sabah, ada putra-putri, anak-anak, mereka sulit bersekolah. Saya tahu barangkali sistem pendidikan di Malaysia tidak ada ruang untuk berdirinya ”sekolah-sekolah asing”, tetapi ini kan kita saudara dekat. Mereka juga menyumbang ekonomi Malaysia. Ini anak-anak kami, perlu pendidikan, perlu sekolah. Singkat kata, Malaysia merespon dengan baik. Dengan beberapa kali pertemuan pada tingkat Menteri, tingkat Pejabat Tinggi, disetujui dibuka sekolah di Sabah dan di wilayah lain. Saya menerima SMS beberapa minggu yang lalu kurang lebih, dua minggu yang lalu, berterima kasih kepada pemerintah telah bisa dibangun. Namun, mengatakan fasilitasnya kurang. Lalu kita kirim apa yang kurang. Ada berapa pakaian. Alhamdulillah, sudah bisa saya bantu, tetapi saya dapat lagi foto itu ternyata bangunan sekolahnya, Ibu Meutia Hatta, itu kurang bagus, tidak bagus. Seskab tolong sampaikan Menko Kesra, Mendiknas, dan Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan untuk berangkat ke Sabah, melihat langsung fasilitas itu. Bertemulah dengan mereka, anak-anak kita, kaum perempuan, dan mari kita bangun, kita bantu yang pantas bagi sebuah fasilitas pendidikan. Kita ini harus menjadi bangsa yang terhormat. Dan saya lihat hasilnya, prihatin saya. Bisa, kok, kita bisa membangun gedung-gedung di Indonesia, SD, SMP, SMA secara bertahap. Saya kira itu penting. Itu adalah calon-calon pemimpin Indonesia di waktu yang akan datang yang sekarang sedang ikut orang tuanya bekerja di negara sahabat. Jadi, saya ingin langsung dilihat di sana. Kemudian, mari kita bantu pembangunannya sehingga layak, sama layaknya dengan fasilitas yang ada di negara kita.

Kemudian, yang terakhir adalah masalah anak-anak Indonesia. Saya garis bawahi visi yang tertuang dalam Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) Tahun 2015. Visinya bagus Anak Indonesia yang Sehat, Tumbuh dan Berkembang, Cerdas Berakhlak, Terlindungi dan Aktif Berpartisipasi. Mari kita wujudkan, jangan tetap hanya menjadi semboyan, menjadi visi, dengan sekali lagi aksi nyata, program nyata di seluruh Indonesia. Kita pakai biasanya membikin visi, membikin motto, rencana strategis, tetapi kita tidak tekun, kita kurang, mohon maaf, sungguh-sungguh di dalam mewujudkan semua itu dalam kehidupan masyarakat kita. Saya mengajak mari kita wujudkan bersama-sama. Dalam Harkitnas kemarin 20 Mei, saya pidato agar Indonesia menjadi negara maju syaratnya ada tiga lebih mandiri, lebih berdaya saing, dan peradaban kita harus makin tinggi, civilization. Lagi-lagi peran perempuan dan faktor anak menjadi sangat penting, termasuk kalau kita berbicara anak,berikan kepedulian yang tinggi, bantu anak-anak kita yang dalam kondisi miskin keluarganya dan dalam kondisi cacat. Mereka justru harus mendapatkan sentuhan dan bantuan yang lebih tinggi. Dengan demikian, negara kita msekipun masih terus membangun, masih menghadapi persoalan tapi dilihat oleh rakyat kita adil karena juga memperhatikan nasib dan persoalan mereka.

Menutup dari sambutan saya ini, tahun politik tahun 2008. Tahun depan tahun Pemilu 2009. Saya berdoa, saya ikut berbuat agar kuota 30% itu bisa dicapai. Kita senang kalau lebih banyak lagi kaum perempuan berada di DPR RI, DPRD di seluruh Indonesia, DPD, jajaran pemerintahan, lebih banyak lagi Gubernur dari kaum perempuan, Bupati, Walikota. Ini kaum laki-laki jangan merasa wah bahaya ini generasi. Tidak , masih jauh. Di Kabinet ada empat Menteri perempuan. Biasanya dua. Tahun 2004-2009 kita berikan empat slot, tentu harapan kaum perempuan siapa pun nanti yang memerintah tahun 2009 ke depan, sama atau mungkin lebih banyak lagi kaum perempuan di Kabinet, dengan syarat memiliki kapasitas dan integritas, layak dan tepat untuk menjadi Menteri dalam Kabinet. Matangkan demokrasi kita. Pemilu nanti pasti ada kompetisi. Di negara mana pun itu, politik suhunya akan panas, sosial akan ada goncangan-goncangan. Mungkin ada sedikit gangguan ketertiban, wajar. Tapi yang ingat mari kita cegah untuk tidak menjadikan negara kita mundur ke belakang. Banyak cara-cara berkompetisi yang dapat dilakukan tanpa menimbulkan kekerasan. Banyak cara untuk mencapai tujuan dengan cara-cara yang baik. Kaum perempuan memiliki sensitivitas yang tinggi, memiliki standar moral yang baik. Oleh karena itu, ikutlah menjadi pelopor dalam kompetisi politik ini, untuk betul menjalankan politik yang baik supaya rakyat tenang dan senang. Dan kaum laki-laki tidak berarti kita tidak harus seperti itu, sama. Dengan demikian, insya Allah, Pemilu dapat kita laksanakan dengan baik, demokratis, jujur, adil, ada perangkat kepemimpinan nanti yang tepat memimpin negara ini entah DPR, DPD, MPR, Pemerintah, dan seterusnya, dan program-program pembangunan terus dapat kita lanjutkan. Rakyat bisa memilih pemimpin-pemimpinnya. Di negara demokrasi, makin banyak pilihan makin bagus. Dengan demikian, akhirnya, dengan intervensi Allah Subhaanahu wa Ta’alaa agar dipilih pemimpin-pemimpin di negeri kita ini pemimpin-pemimpin yang bisa melanjutkan tugas bangsa kita.

Saya kira itulah. Dan akhirnya, dengan terlebih dahulu memohon ridho Allah Subhaanahu wa Ta’alaa seraya mengucapakn Bismillaahirrahmaanirrahiim, Rakornas Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan serta Perlindungan Anak Tahun 2008 dengan resmi saya nyatakan dibuka.

Sekian

Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.


Biro Naskah dan Penerjemahan,
Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan,
Sekretariat Negara RI

Perpres RI No. 37 Tahun 2005

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2005
TENTANG
HONORARIUM BAGI KETUA, WAKIL KETUA,
SEKRETARIS, DAN ANGGOTA
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan mutu, prestasi, pengabdian, dan gairah kerja, dipandang perlu memberikan honorarium bagi Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia dengan Peraturan Presiden;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG HONORARIUM BAGI KETUA, WAKIL KETUA, SEKRETARIS, DAN ANGGOTA KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA.



Pasal 1
Kepada Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia diberikan honorarium setiap bulan.

Pasal 2
Besarnya honorarium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut :
Ketua dan Wakil Ketua sebesar Rp 14.375.000,00 (empat belas juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);
Sekretaris sebesar Rp 13.250.000,00 (tiga belas juta dua ratus lima puluh ribu rupiah);
Anggota sebesar Rp 12.500.000,00 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 3
Honorarium bagi Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2, diberikan sejak yang bersangkutan dikukuhkan sebagai Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Presiden ini, diatur oleh Menteri Keuangan dan/atau Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri menurut bidang tugasnya masing-masing.

Pasal 5
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO




Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan,

Lambock V. Nahattands

Kepres RI No. 59 Tahun 2002

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 59 TAHUN 2002
TENTANG
RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK
PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa anak Indonesia baik sebagai individu maupun sebagai generasi penerus bangsa harus dijaga pertumbuhan dan perkembangannya sehingga anak dapat berkembang secara wajar baik fisik, mental, sosial, dan intelektualnya;
b. bahwa bekerja bagi anak terutama pada jenis pekerjaan-pekerjaan yang terburuk sangat membahayakan bagi anak dan akan menghambat anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar disamping sangat bertentangan pula dengan hak asasi anak dan nilai-nilai kemanusiaan yang diakui secara universal;
c. bahwa Indonesia telah mengesahkan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000;
d. d. bahwa ketentuan Pasal 6 Konvensi ILO Nomor 182 tersebut mengamanatkan untuk menyusun dan melaksanakan Program Aksi Nasional untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dipandang perlu menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dengan Keputusan Presiden;
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
5. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK.

Pasal 1
Menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan Presiden ini.

Pasal 2
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan Presiden ini merupakan pedoman bagi pelaksanaan Program Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak

Pasal 3
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II
ttd
Edy Sudibyo





LAMPIRAN
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 59 Tahun 2002
TANGGAL : 13 Agustus 2002
RENCANA AKSI NASIONAL
PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN
TERBURUK UNTUK ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai dengan saat ini jumlah pekerja anak masih belum terdata secara pasti. Pekerja anak tersebar baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Pekerja anak di daerah pedesaan lebih banyak melakukan pekerjaan bidang pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan maupun kegiatan ekonomi di lingkungan keluarga. Pekerja anak di daerah perkotaan dapat ditemukan di perusahaan, rumah tangga (sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja industri rumahan atau industri keluarga) maupun di jalanan seperti penjual koran, penyemir sepatu atau pemulung. Beberapa diantara pekerjaan yang dilakukan anak tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Banyak alasan yang dikemukakan sebagai pembenaran terhadap keberadaan pekerja anak tersebut. Dari berbagai alasan yang dikemukakan, faktor kemiskinan dan kondisi ekonomi dianggap sebagai faktor utama yang mendorong keberadaan pekerja anak. Mempekerjakan anak pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang buruk di Indonesia, namun demikian keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh
Pemerintah Belanda.
Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak jaman Pemerintahan Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundangundangan yang mengatur soal pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun, upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak yang bekerja tersebut melalui peraturan perundang-undangan lebih menitikberatkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak. Berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Belanda tersebut antara lain :
1. 1. Staatsblad Nomor 647 Tahun 1925 yang intinya melarang anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun untuk melakukan pekerjaan:
1. a. di pabrik pada ruangan tertutup di mana biasanya dipergunakan tenaga mesin;
2. b. di tempat kerja ruangan tertutup yang biasanya dilakukan pekerjaan tangan oleh sepuluh orang atau lebih secara bersama-sama;
3. c. pembuatan, pemeliharan, perbaikan dan pembongkaran jalan tanah, penggalian, perairan dan bangunan serta jalan-jalan;
4. d. pada perusahaan kereta api, pada pemuatan, pembongkaran, dan pemindahan barang baik di pelabuhan, dermaga dan galangan kapal maupun di stasiun, tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan, di tempat penyimpanan dan gudang kecuali jika membawa dengan tangan;
5. e. larangan bagi anak untuk memindahkan barang berat di dalam atau untuk keperluan perusahaan.
2. 2. Ordonansi Tahun 1926, Staatsblad Nomor 87 melarang mempekerjakan anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun pada pekerjaan di kapal kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ahlinya atau seorang keluarga sampai derajat ketiga;
3. 3. Regeringsverordening Tahun 1930 Staatsblad Nomor 341 melarang anak usia di bawah 16 (enam belas) tahun untuk melakukan pekerjaan pada bangunan di atas tanah. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan perlindungan anak yang bekerja ditandai dengan terbitnya Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 yang melarang anak bekerja pada malam hari, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 yang melarang orang laki-laki maupun perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah melakukan pekerjaan.
Sekalipun telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 tersebut, namun dalam prakteknya ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang dimaksud tidak berlaku. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek pada saat itu dalam pelaksanaan perlindungan dan pelarangan untuk mempekerjakan anak adalah Staatsblad sebagaimana tersebut di atas.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengaturan mengenai perlindungan dan pelarangan anak yang bekerja diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, diantaranya adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Selain itu, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, sehingga anak-anak yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar. Dengan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar secara tidak langsung diharapkan dapat mengurangi pekerja anak. Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah dirasakan masih kurang memadai, sehingga Pemerintah meratifikasi Konvensi tentang Hak-hak Anak dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on Rights of Child. Selanjutnya, untuk lebih melindungi hak-hak anak maka Indonesia meratifikasi beberapa Konvensi ILO yaitu dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja), dan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination for the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak).
Pekerja anak merupakan masalah bagi semua pihak dan bersifat multi sektoral, sehingga kebijakan penanggulangan pekerja anak merupakan kebijakan lintas sektor. Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk terus menerus mengurangi jumlah pekerja anak, namun demikian dengan kondisi perekonomian yang belum kondusif upaya tersebut belum mencapai hasil yang menggembirakan. Bahkan perkembangan masalah sosial yang semakin kompleks, mendorong pekerja anak terpuruk pada jenis-jenis pekerjaan terburuk. Sejalan dengan hal tersebut dan sebagai pelaksanaan Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 tersebut, maka disusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak disusun dengan melibatkan berbagai komponen yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001.
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak merupakan pedoman bagi pelaksanaan Program Aksi Nasional Penghapusan Bentuk- Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Kesulitan yang mendasar dalam merencanakan kegiatan atau program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah tidak adanya data yang meyakinkan semua pihak tentang jumlah dan besaran masalah pekerja anak pada pekerjaan terburuk. Hal ini tentunya dapat dimengerti, mengingat kondisi geografis, jenis pekerjaan maupun bentuk pekerjaan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaaan Terburuk Untuk Anak) adalah :
1. a. segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
2. b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
3. c. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
4. d. pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.
Pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tersebut di atas di Indonesia secara umum meliputi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi yang antara lain dalam bentuk:
1. 1. Anak-anak yang dilacurkan;
2. 2. Anak-anak yang bekerja di pertambangan;
3. 3. Anak-anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara;
4. 4. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi;
5. 5. Anak-anak yang bekerja di jermal;
6. 6. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah;
7. 7. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak;
8. 8. Anak yang bekerja di jalan;
9. 9. Anak yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga;
10. 10. Anak yang bekerja di industri rumah tangga;
11. 11. Anak yang bekerja di perkebunan;
12. 12. Anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu;
13. 13. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya.

B. Tantangan bagi Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk :
T antangan dalam program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, yaitu :
1. 1. Belum tersedianya data serta informasi yang akurat, dan terkini tentang pekerja anak baik tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi, jenis pekerjaan, kondisi pekerjaan, dan dampaknya bagi anak.
2. 2. Belum tersedianya informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
3. 3. Terbatasnya kapasitas dan pengalaman Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai pihak lainnya dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
4. 4. Lemahnya koordinasi berbagai pihak yang terkait dengan penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak baik di tingkat Pusat maupun Daerah
(Propinsi dan Kabupaten/Kota).
1. 5. Rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat dalam penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
2. 6. Belum memadainya perangkat hukum dan penegakannya yang diperlukan dalam aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
3. 7. Belum adanya kebijakan yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.



BAB II
KEBIJAKAN NASIONAL PENGHAPUSAN
BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK
1. A. TUJUAN
Hakekat dan tujuan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak adalah mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang ada di Indonesia.

2. B. Visi dan Misi
Visi :
Anak sebagai generasi penerus bangsa terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk sehingga dapat tumbuh kembang secara wajar dan optimal baik fisik, mental, sosial maupun intelektualnya.
Misi :
1. 1. Mencegah dan menghapus segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
2. 2. Mencegah dan menghapus pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, produksi pornografi, atau untuk pertunjukan porno;
3. 3. Mencegah dan menghapus pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram atau terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional;
4. 4. Mencegah dan menghapus pelibatan anak dalam produksi atau penjualan bahan peledak, penyelaman air dalam, pekerjaan-pekerjaan di anjungan lepas pantai, di dalam tanah, pertambangan serta penghapusan pekerjaan lain yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.

C. Kelompok Sasaran
1. 1. Semua anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk;
2. 2. Semua pihak yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk melakukan bentuk pekerjaan terburuk.

D. Kebijakan Nasional
Mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara bertahap.

E. Strategi
Kebijakan Nasional dilaksanakan dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh, dengan strategi :
1. 1. Penentuan prioritas penghapusan bentuk pekerjaan terburuk secara
bertahap
Penentuan prioritas dilakukan dengan mempertimbangkan besaran dan kompleksitas masalah pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk serta berbagai sumber yang tersedia untuk melaksanakan program penghapusannya.
2. 2. Melibatkan semua pihak di semua tingkatan
Persoalan pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk merupakan masalah bangsa. Tidak ada satu pihakpun yang merasa mampu menyelesaikan masalah pekerja anak secara sendirian. Oleh karena itu pelibatan semua pihak dalam program penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan kunci keberhasilan.
3. 3. Mengembangkan dan memanfaatkan secara cermat potensi dalam negeri
Mengingat besarnya sumber daya yang diperlukan dalam penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka penggalian, pengembangan dan pemanfaatan secara cermat berbagai sumber yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Daerah maupun potensi masyarakat perlu dilakukan secara maksimal.
4. 4. Kerjasama dan bantuan teknis dengan berbagai negara dan lembaga
internasional
Memperhatikan berbagai keterbatasan sumber dan pengalaman dalam pelaksanaan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka kerjasama dan bantuan teknis dari berbagai negara dan lembaga internasional diperlukan.



BAB III
PROGRAM AKSI
Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran rencana aksi nasional yaitu penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak maka diadakan program aksi. Untuk lebih menunjang pencapaian program-program aksi tersebut rencana aksi nasional dibagi dalam beberapa tahapan. Tahapan program-program dimaksud yaitu:
a . tahap pertama, sasaran yang ingin dicapai setelah 5 (lima) tahun yang pertama;
b . tahap kedua, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 10 (sepuluh) tahun;
c . tahap ketiga, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 20 (dua puluh) tahun.
Secara lebih rinci pentahapan tersebut adalah sebagai berikut :

A. Tahapan Program

1. Tahap Pertama
Sasaran yang ingin dicapai setelah 5 tahun adalah:
a. tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
b . terpetakannya permasalahan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan upaya penghapusannya;
c. terlaksananya program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan prioritas pekerja anak di anjungan lepas pantai dan penyelaman air dalam, pekerja anak yang diperdagangkan untuk pelacuran, pekerja anak di pertambangan, pekerja anak di industri alas kaki,
pekerja anak di industri dan peredaran narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya.

2. Tahap Kedua
Sasaran yang ingin dicapai setelah 10 tahun adalah :
a. replikasi model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang telah dilaksanakan pada tahap pertama di daerah lain;
b. berkembangnya program penghapusan pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak lainnya;
c. tersedianya kebijakan dan perangkat pelaksanaan untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

3. Tahap Ketiga
Sasaran yang ingin dicapai setelah 20 tahun adalah :
a. pelembagaan gerakan nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara efektif;
b. pengarusutamaan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

B. Kegiatan Tahap Pertama
1. Penelitian dan Dokumentasi
Program pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak disusun atas dasar besaran, kualitas dan lokasi masalah. Untuk itu diperlukan penyediaan data statistik yang lengkap mengenai anak, jenis pekerjaan dan ancaman yang dihadapi oleh anak yang terlibat pada bentuk pekerjaan terburuk. Jangkauan penelitian dan dokumentasi untuk pekerja anak dapat diperluas, yang meliputi :
a. data statistik mengenai pekerja anak yang dimulai dari usia 10 tahun keatas;
b. data statistik mengenai pekerja anak usia di bawah 18 tahun yang terlibat dalam bentuk pekerjaan terburuk;
c. data statistik kriminal yang dilakukan anak menyangkut jumlah kasus, jenis kasus, jumlah korban, pelaku, modus, lokasi dan waktu kejadian.

2. Kampanye Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
Informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk sangat menunjang keberhasilan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Program penyebarluasan informasi meliputi kegiatan :
a. menyebarluaskan informasi tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak kepada masyarakat luas;
b. memfasilitasi tumbuhnya kelompok masyarakat yang peduli pekerja anak;
c. sosialisasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
d. mendorong peranan media massa dalam penyebaran informasi baik di tingkat Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota.

3. Pengkajian dan Pengembangan Model Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
Guna menunjang keberhasilan program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak perlu dilakukan kajian serta pengembangan model, sehingga penyelenggaraan program tidak didasarkan pada suatu asumsi belaka. Kajian yang dilakukan meliputi :
a. lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan pekerja anak;
b. karakteristik bentuk pekerjaan terburuk bagi anak;
c. model-model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang mencakup antara lain cara advokasi, bantuan langsung, pemulihan, dan reintegrasi dengan basis masyarakat;
d. panduan replikasi model;
e. panduan bagi pekerja sosial pendamping;
f. panduan pemantauan dan evaluasi.
4. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Form of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) dilaksanakan dan ditindaklanjuti dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang meliputi :
a. menetapkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak;
b. menetapkan bahwa melibatkan anak dalam pekerjaan terburuk merupakan tindak pidana.
c. merumuskan kebijakan, menetapkan upaya dan tindakan dalam pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, baik secara pre-emptif, preventif maupun represif.
5. Peningkatan Kesadaran dan Advokasi
Peningkatan kesadaran dan advokasi sangat penting dalam mempercepat tindakan segera dan pelarangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kegiatan peningkatan kesadaran dan advokasi meliputi :
a. penyusunan metode dan modul sosialisasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
b. sosialisasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
c. membangun sistem pengaduan masyarakat bagi kasus-kasus pelibatan anak dalam pekerjaan terburuk.

6. Penguatan Kapasitas
Kapasitas lembaga, jejaring kerja dan sumber daya manusia dalam mengelola program ini perlu ditingkatkan. Pengembangan kapasitas dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, cara-cara pelarangan dan tindakan penghapusan, serta pengembangan jejaring kerja. Upaya penguatan dilakukan melalui pelatihan, kerjasama teknis antar instansi pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja/buruh, serta lembaga swadaya masyarakat, magang dan studi banding maupun pemberdayaan masyarakat dan
keluarga dilaksanakan pada tingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota.

7. Integrasi Program Penghapusan Pekerja Anak dalam Institusi Terkait
Anak-anak yang telah terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak memerlukan bimbingan dan dukungan sosial, pelayanan kesehatan maupun keuangan agar kembali dalam masyarakat (keluarga dan lingkungannya). Untuk itu membebaskan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak harus terintegrasi dengan upaya-upaya lain agar anak tidak kembali pada bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Upaya integrasi dilakukan melalui :
a. penetapan kebijakan di Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, maupun Pemerintah Kabupaten/Kota;
b. perencanaan terpadu;
c. koordinasi lintas sektor maupun lintas fungsi.

C. Kegiatan Tahap Kedua dan Ketiga
Kegiatan tahap kedua disusun berdasarkan hasil kegiatan yang dicapai dalam tahap pertama. Demikian pula kegiatan tahap ketiga akan disusun berdasarkan hasil yang dicapai dalam tahap kedua.



BAB IV
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB
Untuk melaksanakan program diperlukan peran semua pihak baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga swadaya masyarakat, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, organisasi pengusaha maupun masyarakat pada umumnya. Peran dan tanggung jawab terdiri dari bidang-bidang sebagai berikut :
1. Bidang Pendidikan
a. pengumpulan data tentang anak putus sekolah;
b. pemberian kemudahan agar program-program wajib belajar 9 (sembilan) tahun dapat dijangkau bagi semua lapisan masyarakat;
c. pemberian program beasiswa dapat diprioritaskan kepada anak-anak dari keluarga yang kurang mampu seperti keluarga dimana ibu sebagai kepala keluarga dan keluarga miskin yang tidak dapat membiayai pendidikan anak-anaknya;
d. perbaikan metode belajar mengajar serta fasilitas tambahan seperti asrama, dan pelayanan konsultasi psikologi bagi anak-anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
e. pemberian kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi anak-anak yang telah terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
f. pemberian pelatihan bagi para pendidik dan pembimbing dalam menghadapi pekerja anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
2. Bidang Ketenagakerjaan
a. pengumpulan dan penyebarluasan data serta informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
b. pemberian pelatihan serta upaya rehabilitasi dan integrasi program;
c. pengkoordinasian pembebasan terhadap pekerja anak serta melakukan upaya agar mereka tidak kembali bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
d. penciptaan dan pelaksanaan program-program pemindahan anak-anak dari tempat kerja;
e. pelaksanaan pemeriksaan tempat-tempat kerja yang rawan akan praktek bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
f. pelaksanaan tindakan pembebasan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

3. Bidang Kesehatan
a. pengumpulan data, penelitian, dan pengkajian mengenai dampak buruk yang mungkin timbul dan mengganggu kesehatan anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
b. penyediaan pelayanan kesehatan bagi anak-anak (termasuk yang telah keluar dari tempat kerjanya) di sarana-sarana kesehatan;
c. penyebarluasan informasi tentang resiko kesehatan bagi anak yang bekerja kepada pihak-pihak terkait dengan masalah pekerja anak;
d. peningkatan kesadaran tentang kesehatan bagi pekerja anak dan orangtuanya.

4. Bidang Penegakan Hukum
a. penyusunan strategi kerjasama dengan Departemen/instansi lintas sektoral terkait maupun lembaga swadaya masyarakat untuk membebaskan dan menyelamatkan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
b. penyusunan dan penetapan kebijakan dan upaya serta tindakan pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di daerah/kewilayahan baik secara pre-emptif, preventif dan represif;
c. pengambilan langkah-langkah dan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyelamatkan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
d. pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan yang bersifat :
1. Pre-emptif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menetralisasi dan menghilangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan bimbingan, penyuluhan, penerangan, dan tatap muka dengan pelaku dan korban anak yang bersangkutan, orang tua, tokoh agama/masyarakat dan pendidik;
2. Preventif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya peristiwa/kasus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan patroli/perondaan, penjagaan baik secara terbuka maupun tertutup terhadap tempat-tempat/daerah-daerah dan saat/waktu yang dianggap rawan terjadinya peristiwa/kasus;
3. Represif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan oleh aparat yang berwenang terhadap pelaku untuk dapat diajukan ke Penuntut Umum.
e. penuntutan terhadap para pelaku yang melibatkan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. pelaksanaan koordinasi dan kerjasama lintas sektoral untuk dapat mewujudkan keterpaduan sikap dan tindakan dalam penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, mulai dari tahap perumusan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai dengan pengendalian.
g. pelaksanaan tindak lanjut atas segala pengaduan tentang eksploitasi pekerja anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Bidang Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
a. pengevaluasian berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelarangan anak bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,
b. penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelarangan anak bekerja pada pekerjaan terburuk untuk anak, dan menyatakan bahwa tindakan melibatkan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan suatu tindak pidana;
c. pelaksanaan revisi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau merancang peraturan perundang-undangan yang baru sesuai dengan konvensi internasional mengenai anak yang telah disahkan;
d. pelaksanaan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan masalah anak.

6. Bidang Sosial Budaya dan Ekonomi
a. pengidentifikasian daerah-daerah yang terdapat ancaman bahaya fisik, mental, dan perkembangan moral anak;
b. penyusunan pengajaran agama dan pendidikan mental spiritual kepada anak-anak yang mempunyai resiko putus sekolah;
c. pensosialisasian dan diseminasi kepada para tokoh agama dan lembaga agama tentang kebijakan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
d. penyusunan panduan bagi mubalig mengenai pekerja anak dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
e. pelaksanaan kerjasama dengan para pekerja sosial untuk menjamin anak-anak tersebut menjalankan rehabilitasi sosial dalam bentuk bimbingan.
f. penyampaian skema pemberian kredit mikro kepada keluarga yang mempekerjakan anaknya;
g. pemberian bimbingan usaha skala kecil dan berupaya membuka akses pasar yang lebih luas;
h. perbaikan sarana perumahan bagi keluarga miskin agar dicapai rumah bersih dan sehat;
i. pemberdayaan masyarakat dalam rangka pelaksanaan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

7. Bidang Media
a. penyebarluasan informasi tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
b. penyebarluasan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
c. penyebarluasan informasi tentang berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Untuk Anak;
d. pengupayaan tumbuhnya jurnalis/wartawan yang sensitif terhadap praktek bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.



BAB V
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Dalam rangka menjaga kesinambungan kebijakan dan berbagai program nasional, maka pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak perlu dinilai ulang secara berkala. Pemantauan dan evaluasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dilaksanakan oleh Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001. Pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi, Komite Aksi Nasional dapat mengikutsertakan segenap lapisan masyarakat maupun instansi terkait, sehingga dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional. Pemantauan dan evaluasi dilakukan melalui penyusunan dan pengembangan :
1. sistem dan mekanisme pemantauan;
2. indikator keberhasilan program;
3. publikasi;
4. pelaporan secara berkala.


BAB VI
P E N U T U P
Upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, tetapi merupakan suatu proses yang panjang dan berkelanjutan. Karena itu, upaya tersebut perlu dilakukan secara terus menerus, berkelanjutan dan terpadu oleh semua pihak yakni pemerintah, organisasi sosial dan kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat serta semua kalangan dan lapisan masyarakat secara bersama-sama.



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II
ttd
Edy Sudibyo