Senin, 12 Januari 2009

PP No. 4 Tahun 2006

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2006
TENTANG
PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA
PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan dan Kerja sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).

Menetapkan :

MEMUTUSKAN :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN
DAN KERJA SAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis.
2. Penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Pendampingan adalah segala tindakan berupa konseling, terapi psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani, guna penguatan diri korban kekerasan dalam rumah tangga untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
4. Kerjasama adalah cara yang sistematis dan terpadu antar penyelenggara pemulihan dalam memberikan pelayanan untuk memulihkan korban kekerasan dalam rumah tangga.
5. Petugas penyelenggara pemulihan adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
6. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.

BAB II
PENYELENGGARAAN PEMULIHAN
Pasal 2
(1) Penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban.
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian;
b. tenaga yang ahli dan profesional;
c. pusat pelayanan dan rumah aman; dan
d. sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 3
(1) Menteri menetapkan pedoman pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga yang sensitif gender.
(2) Pedoman pemulihan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4
Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi :
a. pelayanan kesehatan;
b. pendampingan korban;
c. konseling;
d. bimbingan rohani; dan
e. resosialisasi.

Pasal 5
(1) Pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan disarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta dengan cara memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban.
(2) Pendampingan korban dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani dengan cara memberikan konseling, terapi, bimbingan rohani dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban.
(3) Pemberian konseling dilakukan oleh pekerja sosial, relawan pendamping, dengan mendengarkan secara sempati dan menggali permasalahan untuk penguatan psikologis korban.
(4) Bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
(5) Resosialisasi korban dilaksanakan oleh instansi social dan lembaga sosial agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat.

Pasal 6
Untuk kepentingan pemulihan, korban berhak mendapatkan pelayanan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.

Pasal 7
(1) Tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, dan kebutuhan medis korban.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan dasar dan sarana kesehatan rujukan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat termasuk swasta.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

Pasal 8
(1) Dalam memberikan pelayanan kepada korban, tenaga kesehatan melakukan upaya :
a. anamnesis kepada korban;
b. pemeriksaan kepada korban;
c. pengobatan penyakit;
d. pemulihan kesehatan, baik fisik maupun psikis;
e. konseling; dan/atau
f. merujuk ke sarana kesehatan yang lebih memadai bila diperlukan.
(2) Selain upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kasus tertentu, tenaga kesehatan dapat melakukan :
a. pelayanan keluarga berencana darurat untuk korban perkosaan; dan
b. pelayanan kesehatan reproduksi lainnya sesuai dengan kebutuhan medis.
(3) Dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tenaga kesehatan harus membuat rekam medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Untuk setiap tindakan medis yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan harus ada persetujuan tindakan medis (informed consent) dari korban atau keluarganya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Untuk keperluan penyidikan, tenaga kesehatan yang berwenang harus membuat visum et repertum dan/atau visum et repertum psichiatricum atau membuat surat keterangan medis.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

Pasal 9
(1) Pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada korban, dapat dilakukan di rumah aman, pusat pelayanan atau tempat tinggal alternatif milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
(2) Dalam hal diperlukan dan atas persetujuan korban, korban dapat ditempatkan oleh pekerja sosial di rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat tinggal alternative yang aman untuk melindungi korban dari ancaman.
(3) Pengadaan rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat tinggal alternatif yang dilakukan masyarakat dapat difasilitasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan pelayanan pada rumah aman, atau tempat tinggal alternatif milik pemerintah, diatur dengan Peraturan Menteri Sosial.

Pasal 10
Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan, setelah memperhatikan saran dan pertimbangan menteri, dapat menyelenggarakan pusat pelayanan milik pemerintah.

Pasal 11
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pekerja sosial melakukan upaya :
a. menggali permasalahan korban untuk membantu pemecahan masalahnya;
b. memulihkan korban dari kondisi traumatis melalui terapi psikososial;
c. melakukan rujukan ke rumah sakit atau rumah aman atau pusat pelayanan atau tempat alternatif lainnya sesuai dengan kebutuhan korban;
d. mendampingi korban dalam upaya pemulihan melalui pendampingan dan konseling; dan/atau
e. melakukan resosialisasi agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya di dalam masyarakat.

Pasal 12
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, relawan pendamping melakukan upaya :
a. membangun hubungan yang setara dengan korban agar bersedia membuka diri dalam mengemukakan persoalannya;
b. berempati dan tidak menyalahkan korban mengenai atau yang terkait dengan permasalahannya;
c. meyakinkan korban bahwa tidak seorang pun boleh melakukan tindakan kekerasan;
d. menanyakan apa yang ingin dilakukan dan bantuan apa yang diperlukan;
e. memberikan informasi dan menghubungkan dengan lembaga atau perorangan yang dapat membantu mengatasi persoalannya; dan/atau
f. membantu memberikan informasi tentang layanan konsultasi hukum.

Pasal 13
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pembimbing rohani melakukan
upaya :
a. menggali informasi dan mendengarkan keluh kesah dari korban;
b. mempertebal keimanan dan ketakwaan korban serta mendorong untuk menjalankan ibadat menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu.
c. menyarankan pemecahan masalah kekerasan dalam rumah tangga menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu.
d. memberikan pemahaman mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Pasal 14
Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dapat diberikan juga kepada pelaku dan anggota keluarganya.

BAB III
KERJASAMA PEMULIHAN
Pasal 15
(1) Menteri dapat melakukan koordinasi mengenai pelaksanaan kerjasama dalam rangka pemulihan korban.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri dapat membentuk forum koordinasi pusat yang keanggotaannya berasal dari instansi terkait dan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan koordinasi, syarat dan tata cara pembentukan forum koordinasi diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 16
(1) Untuk melaksanakan kerjasama dalam rangka pemulihan korban, pemerintah daerah dapat melakukan koordinasi antar instansi terkait dengan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu badan yang khusus membidangi pemberdayaan perempuan dan anak.
(3) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk oleh Gubernur.

Pasal 17
(1) Tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan pembimbing rohani dapat melakukan kerjasama dalam melaksanakan pemulihan korban.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan sebagai berikut :
a. melakukan rujukan dalam pelaksanaan upaya pemulihan korban; dan
b. penyiapan fasilitas rumah aman atau tempat alternative bagi korban.

Pasal 18
Dalam hal tertentu, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat menjalin kerjasama dengan :
a. kepolisian, untuk melaporkan dan memproses pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga;
b. advokat, untuk membantu korban dalam proses peradilan;
c. penegak hukum lainnya, untuk membantu korban dalam proses di sidang pengadilan;
d. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan;
e. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI);
f. pihak tertentu yang diinginkan demi kepentingan korban.

Pasal 19
Untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20
Pemerintah dan pemerintah daerah :
a. menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan kepada korban;
b. mengupayakan efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban; dan
c. mengupayakan terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam upaya pemulihan korban.

Pasal 21
Menteri melakukan pemantauan, evaluasi, dan peningkatan kinerja pelaksanaan kerjasama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga secara transparan dan bertanggung jawab.

BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 22
Segala biaya untuk pelaksanaan pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; dan
c. sumber pendapatan lain yang sah yang perolehannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Pebruari 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd


DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Pebruari 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK AZASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 15
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesra,
Wisnu Setiawan





PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2006
TENTANG
PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA DALAM UPAYA
PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

I. UMUM
Upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga perlu terus dilakukan, yang pelaksanaannya dilakukan secara terkoordinasi dan
terpadu antar lintas sektor baik pada tingkat pusat, provinsi, maupun
kabupaten/kota. Untuk kelancaran pelaksanaan pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga, perlu peraturan perundang-undangan
yang mengatur penyelenggaraan dan kerja sama antar instansi
pemerintah dengan melibatkan masyarakat. Upaya pemulihan tersebut
merupakan amanat dari pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Guna menunjang pelaksanaan tersebut, perlu pengaturan mengenai
penyelenggaraan dan kerja sama pemulihan korban dengan menentukan
tugas dan fungsi masing-masing dan kewajiban serta tanggung jawab
tenaga kesehatan, pekerja sosial, pembimbing rohani dan relawan
pendamping. Untuk lebih mengefektifkan pelayanan terpadu, maka
dalam peraturan ini dibentuk forum koordinasi yang akan
mengkoordinasikan antar petugas pelayanan, sekaligus menyusun
rencana program bagi peningkatan upaya pemulihan korban kekerasan
dalam rumah tangga. Forum koordinasi tersebut dibentuk di pusat dan
di daerah. Menteri membentuk forum koordinasi di tingkat pusat,
sedangkan di daerah dibentuk oleh Gubernur.
Penyelenggaraan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah
tangga diarahkan pada pulihnya kondisi korban seperti semula baik fisik
maupun psikis dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga korban
dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari dan dapat hidup di tengah
masyarakat seperti semula. Oleh karena itu, pelayanan harus
dilaksanakan semaksimal mungkin segera setelah adanya pengaduan
atau pelaporan dari korban untuk memperoleh pelayanan bagi
pemulihan kondisi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Dengan demikian, upaya penyelenggaraan pemulihan korban kekerasan
dalam rumah tangga pada dasarnya bertujuan menjamin terlaksananya
kemudahan pelayanan korban kekerasan dalam rumah tangga,
menjamin efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga dan terciptanya kerja sama dan
koordinasi yang baik dalam pemulihan korban kekerasan dalam rumah
tangga antar instansi, antar petugas pelaksana, dan antar lembaga
terkait lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud pusat pelayanan adalah yang dikenal
dengan trauma center, sedangkan rumah aman dikenal
dengan shelter.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “konseling” adalah pemberian bantuan
oleh seseorang yang ahli atau orang yang terlatih sedemikian
rupa sehingga pemahaman dan kemampuan psikologis diri
korban meningkat dalam memecahkan permasalahan yang
Hurudf idhadapi.
Yang dimaksud dengan “bimbingan rohani” adalah konseling
yang diberikan oleh rohaniwan.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Instansi Sosial adalah instansi pemerintah yang ruang lingkup
tugasnya menangani urusan sosial, dan instansi pemerintah
daerah yang menanggulangi masalah sosial.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Standar Profesi” adalah batasan
kemampuan (knowledge, skill and proffesional attitude)
minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk
dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat
secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.
Yang dimaksud dengan “Standar Prosedur Operasional”
adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu, yang dibuat oleh sarana kesehatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sarana kesehatan antara lain
puskesmas, balai pengobatan, dan rumah sakit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “rekam medis” adalah berkas yang
berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain
kepada pasien (korban) pada sarana kesehatan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “persetujuan tindakan medis”
(informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien (korban) atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
korban tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara lisan
atau tertulis.
Ayat (5)
Visum et repertum dibuat oleh dokter yang memeriksa
korban dan visum et repertum psichiatricum dibuat oleh
dokter spesialis kesehatan jiwa.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4604

Tidak ada komentar: